IESR: SNDC yang Ambisius, Adil, Kredibel, dan Transparan •

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai keadaan krisis iklim seharusnya dipandang sebagai keadaan mendesak dan kritis sehingga perlu aksi iklim ambisius di segala sektor. Karena itu, diperlukan dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang mengedepankan aspek adil, kredibel dan transparan dalam penyusunan, dan implementasinya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan draf awal dokumen SNDC pada konsultasi publik pertengahan Juli 2024 lalu. Mencermati draf ini, IESR menilai target iklim Indonesia belum menunjukkan ambisi penurunan emisi yang paling optimal, sesuai dengan kewajiban dan kemampuan negara,  selaras dengan pembatasan temperatur global 1,5°C. Sementara itu, kenaikan suhu global terus berlangsung dan telah menyebabkan kerugian sosial dan ekonomi.

Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, target penurunan emisi  yang ambisius tercermin dari  keselarasannya dengan target Persetujuan Paris untuk membatasi suhu global di 1,5 derajat Celcius. Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk memperkuat target penurunan emisi tahun 2030 sesuai Persetujuan Paris dan meningkatkan target NDC, terutama di target conditional (bersyarat, dengan bantuan internasional).

“Berdasarkan estimasi Climate Action Tracker (CAT), target iklim 2030 yang ditetapkan negara-negara saat ini apabila diimplementasikan sepenuhnya akan memicu kenaikan suhu global sebesar 2,5°C pada akhir abad ini,” ujar Fabby, Senin (2/9).

Merujuk pada CAT, untuk sejalan dengan 1,5°C, Indonesia perlu menetapkan target NDC tanpa syarat sebanyak 817 juta ton setara karbon dioksida per tahun pada 2030. Kemudian, pada NDC bersyarat sebesar 771 juta ton setara karbon dioksida pada per tahun pada tahun 2030, dan 647 juta ton setara karbondioksida pada 2035 (angka dalam GWP IPCC AR5), di luar sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FOLU).

Namun, menurut Fabby, di sektor energi, salah satu aksi mitigasi pemerintah belum sejalan dengan batas emisi tersebut. Selain itu, aksi mitigasi juga masih enggan berpindah ke energi bersih dan mengandalkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada PLTU batubara. Teknologi ini dianggap sebagai pembangkit berefisiensi tinggi dan emisi rendah (High Efficiency and Low Emissions, HELE) yang masih diragukan efektivitas dalam memangkas emisi gas rumah kaca.

Aksi mitigasi ini kontradiksi dengan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Perpres 112/2022, yang mencakup rencana pengakhiran PLTU batubara dan pelarangan pembangunan PLTU baru, kecuali pada PLTU batubara untuk industri (captive). Untuk itu, pemerintah perlu memperjelas aksi mitigasi berbasis HELE ini, Khususnya menetapkan bahwa penerapan teknologi HELE ini harus sesuai dengan kelayakan dan hanya bisa dilakukan pada PLTU captive.

Karena itulah, IESR menekankan agar rancangan SNDC sebaiknya juga memuat elemen rencana pensiun dini PLTU sesuai dengan peta jalan yang disusun oleh Kementerian ESDM. Selain itu, IESR juga mendorong komitmen yang serius dan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi hingga 45 persen pada 2030 agar sesuai dengan target di Persetujuan Paris.

“Sesuai kesepakatan COP-28 di Dubai, dunia harus meningkatkan kapasitas energi terbarukan global tiga kali lipat setara 11,5 TW dan melipatgandakan efisiensi energi pada tahun 2030. Indonesia seharusnya ikut mendukung kesepakatan ini,” tegas Fabby mengingatkan.

Secara ringkas, IESR merekomendasikan empat elemen kunci yang harus diperhatikan dalam penyusunan SNDC.

Pertama, target iklim Indonesia tahun 2030 harus ambisius dan selaras dengan jalur global menuju nol emisi karbon pada tahun 2050. Kedua, Indonesia perlu secara rinci dan transparan mengkomunikasikan kebutuhan pendanaan iklim untuk mencapai NDC bersyarat yang sejalan dengan target 1,5°C, serta memasukkan makna dan prinsip transisi adil (just transition) dalam SNDC. Ketiga, pemerintah perlu menunjukan kredibilitas dalam mitigasi krisis iklim dengan menunjukkan komitmen politik yang kuat dan jelas terhadap upaya dekarbonisasi. Keempat, pemerintah harus meningkatkan transparansi target iklim Indonesia dengan dengan memasukan semua GRK dan menyasar seluruh sektor ekonomi.