Indonesia Didesak Buka Potensi Investasi Energi Terbarukan •
Anggota RE100 berkomitmen untuk menggunakan 100 persen listrik dari energi terbarukan selambatnya pada tahun 2050.
Jakarta, – Sekitar 430 perusahaan multinasional yang tergabung dalam inisiatif RE100 mendesak Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ambisi dalam energi terbarukan dan membuka peluang investasi yang lebih besar dalam transisi energi.
Dalam suratnya kepada Presiden Joko Widodo, tertanggal 6 September 2024, mereka menyebut kepemimpinan yang kuat dalam perubahan iklim akan meningkatkan posisi dan daya saing geopolitik Indonesia, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, serta menciptakan lapangan kerja terampil secara signifikan.
Dalam surat tersebut, CEO Climate Group, Helen Clarkson, yang mewakili anggota RE100, mengingatkan bahwa kegagalan dalam ambisi peningkatan pemanfaatan energi terbarukan dapat mempengaruhi investasi perusahaan di Indonesia. Surat tersebut juga mengimbau Indonesia untuk bersiap menghadapi regulasi tarif karbon, seperti Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon Uni Eropa (Carbon Border Adjustment Mechanism) dan Tarif Karbon Australia, yang mendorong rantai pasokan lebih ramah lingkungan dari perusahaan besar.
Terdapat tiga area utama yang diidentifikasi anggota RE100 sebagai kunci untuk membuka investasi swasta. Pertama, meningkatkan ambisi dengan menetapkan target energi terbarukan setidaknya 34 persen pada 2030. Kedua, mempercepat masuknya proyek energi terbarukan ke jaringan. Ketiga, mendorong mekanisme yang memfasilitasi pengadaan langsung antara perusahaan dan produsen listrik, terutama melalui power wheeling energi terbarukan.
RE100 merupakan inisiatif global dari Climate Group, dengan anggota lebih dari 430 perusahaan terbesar di dunia, termasuk 121 yang beroperasi di Indonesia dengan total konsumsi listrik sebesar 2,1 TWh (terawatt-jam). Sebagai pembanding, di tahun 2023 penjualan (konsumsi) listrik di Indonesia mencapai 285 TWh.
Anggota RE100 berkomitmen untuk menggunakan 100 persen listrik dari energi terbarukan selambatnya pada tahun 2050, termasuk mereka yang memiliki fasilitas produksi dan pemasok di Indonesia. Namun hingga saat ini, belum ada perusahaan berkantor pusat di Indonesia yang menjadi anggota RE100. Pada 21 Agustus 2024, kemitraan RE100 dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) diresmikan dalam acara Indonesia Solar Summit 2024.
Peluang Listrik Hijau
Menurut Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, kredibilitas perusahaan yang tergabung dalam RE100 ditentukan dari pencapaian mereka terhadap target penggunaan energi terbarukannya. Jika Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan energi terbarukan sesuai rencana ekspansi bisnis perusahan, kemungkinan besar mereka akan memilih negara lain yang menawarkan peluang lebih baik untuk pemanfaatan energi terbarukan.
“Saat ini, draft KEN justru akan menurunkan target bauran energi terbarukan di tahun 2025 dan 2030. Kalau ini terjadi, maka menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencapai target 100 persen energi terbarukan mereka di 2050 atau lebih awal,” ungkap Fabby dalam media briefing “Seruan Industri untuk Akselerasi Energi Terbarukan di Indonesia” Senin (9/9).
Tidak hanya itu, ungkapnya, polemik penetapan power wheeling dalam merampungkan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) masih juga terjadi. Padahal skema power wheeling energi terbarukan ini dapat menjadi peluang bagi perusahaan RE100 untuk mendapatkan listrik hijau.
Lebih lanut, Fabby menyampaikan bahwa RE100 mendorong Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kuota PLTS atap dan menyusun green tariff. Langkah ini diyakini bakal memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk berinvestasi secara langsung di pembangkit energi terbarukan.
“Ketersediaan energi terbarukan menjadi hal yang menentukan daya saing bagi negara-negara manufaktur seperti Indonesia, di mana rantai pasok anggota RE100, seperti Nike, beroperasi. Saat ini, pilihan untuk penggunaan energi terbarukan di Indonesia, bagi perusahaan tersebut masih terbatas, misalnya dengan penggunaan renewable energy certificate (REC). Namun demikian, perusahaan-perusahaan ini masih berharap bahwa ke depannya ada pilihan lainnya, seperti mekanisme pembelian energi secara langsung (direct power purchase agreement), sebagaimana yang sudah mulai diterapkan di negara Asia lainnya seperti Vietnam dan India,” jelas Fabby.
Menanggapi surat RE100 dan upaya menggunakan 100 persen energi terbarukan dalam proses produksi, Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha, menilai hal tersebut relevan bagisektor industri, khususnya untuk menurunkan emisi di sektor industri yang secara signifikan menyumbang porsi besar di Indonesia.
Kementerian Perindustrian mendukung upaya penurunan emisi dengan pemanfaatan energi terbarukan ini, dan melihat peluang untuk mengadaptasi dan mengadopsi (adapt and adopt) beberapa kriteria teknis RE100 dalam penyusunan standar dekarbonisasi untuk industri hijau di Indonesia.