Kebijakan Energi Presiden Jokowi Hambat Transisi Energi •

Satu dekade kebijakan sektor energi Presiden Joko Widodo.

Jakarta, – Kebijakan sektor energi yang diterbitkan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun menjabat justru dianggap bertolak belakang dengan upaya transisi energi. Terlihat dari berbagai peraturan yang diterbitkan selama satu dekade ini yang cenderung mendukung produksi dan penggunaan energi fosil. Bahkan, beberapa di antaranya membuat Indonesia mengucurkan anggaran triliunan rupiah untuk program yang tidak sejalan dengan cita-cita transisi energi.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi risalah kebijakan Yayasan Indonesia CERAH bertajuk, “Kupas Tuntas Kebijakan Transisi Energi Presiden Jokowi: Maju atau Mundur?” yang diselenggarakan di Jakarta, Jum’at (26/7).

Mengacu pada risalah tersebut, selama 10 tahun menjabat, Presiden Jokowi justru terlihat lebih serius mengurusi energi fosil dan pertambangan, alih-alih mengakselerasi energi terbarukan. Padahal, Presiden Jokowi ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada masa awal pemerintahannya.

“Selama satu dekade memimpin, Presiden Jokowi tidak pernah mengesahkan satu pun peraturan pada level undang-undang, yang secara khusus mengatur transisi energi atau energi terbarukan. Sebaliknya, Presiden Jokowi justru gencar membuat atau merevisi aturan demi melanggengkan penggunaan energi fosil,” ungkap Peneliti Yayasan Indonesia CERAH, Sartika Nur Shalati.

Sejumlah regulasi diterbitkan demi mendukung program 35 ribu Megawatt (MW) yang didominasi PLTU berbahan bakar batubara, seperti Peraturan Presiden (Perpres) No 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Selanjutnya, ada Perpres No 112/2024 yang diterbitkan demi mempercepat transisi energi, yang justru mengizinkan pembangunan PLTU baru khusus bagi proyek strategis nasional dan perusahaan yang melakukan peningkatan nilai tambah ekonomi (PLTU captive).

Padahal, pesatnya penambahan kapasitas pembangkit listrik ini justru menjadi masalah bagi PT PLN (Persero). Melalui skema Take or Pay, program 35 ribu MW memaksa PLN tetap membeli listrik dari produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) melampaui kebutuhan.

“Sejak tahun 2015-2023, PLN diperkirakan telah menghabiskan anggaran Rp 297,37 triliun untuk membayar kelebihan pasokan listrik,” kata Sartika.

Melalui UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja, Presiden Jokowi juga memperluas produksi energi fosil melalui kemudahan perizinan, bonus perpanjangan izin, serta penguatan pasal-pasal pidana terhadap kegiatan maupun aktivitas masyarakat yang dianggap menghalang-halangi operasi perusahaan. Beleid ini merevisi empat UU di sektor energi, yakni UU Panas Bumi, UU Migas, UU Ketenaganukliran, dan UU Minerba.

“Revisi UU Minerba ini memberlakukan royalti 0% kepada perusahaan tambang, yang berarti memangkas potensi sumber PNBP (pendapatan negara bukan pajak) dari batu bara,” jelas Sartika.

Implikasi lain dari UU Cipta Kerja adalah menjadikan gas sebagai prioritas pengganti batu bara dengan rencana menambah pembangkit listrik berbahan bakar gas hingga 20 gigawatt (GW) pada tahun 2040. Jika kebijakan standar Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dipertahankan oleh pemerintahan baru, sekitar Rp 49-99 triliun per tahun potensi keuntungan pemerintah dari sektor migas akan berkurang, untuk menutup selisih harga gas.

Pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) juga belum sepenuhnya berpihak pada energi terbarukan. Dokumen rencana investasi dan kebijakan komprehensif JETP memang menargetkan bauran energi terbarukan lebih tinggi. Namun, skenario pengurangan emisi JETP masih mendorong “energi baru”, seperti pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 10 GW dan gas 9,5 GW. Sementara penutupan dini PLTU hanya akan dilakukan di dua PLTU: Pelabuhan Ratu dan Cirebon-1.

Perbaikan Kebijakan

Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Mutya Yustika, menuturkan bahwa Indonesia telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mencapai komitmen netral karbon pada 2060. Namun, Mutya menilai masih dibutuhkan reformasi kebijakan dan peraturan agar Indonesia dapat mencapai target pengurangan emisi yang telah ditetapkan.

“Hasil kajian CERAH dapat menjadi salah satu masukan bagi pemerintah dalam menentukan langkah penetapan kebijakan maupun peraturan perundangan pada masa mendatang dalam rangka mencapai target netral karbon pada tahun 2060,” tuturnya.

Menurut Mutya, pemerintah perlu mengutamakan penyediaan energi dari sumber energi terbarukan, yakni surya dan angin. Langkah ini dapat menjadi salah satu solusi pemenuhan target 35 ribu MW sekaligus bauran energi terbarukan.

“Pemerintah juga perlu memberikan insentif terhadap pengembangan energi terbarukan, misalnya dengan memberikan kelonggaran dalam penerapan ketentuan TKDN, mengingat teknologi energi terbarukan masih bergantung pada impor komponen dan material,” ungkapnya.

Sementara Analis Senior Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara EMBER, Dinita Setyawati, mengatakan dibutuhkan dukungan kebijakan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, terutama surya dan angin. Pemerintah juga perlu fokus pada pengembangan infrastruktur serta peningkatan kepastian bisnis energi terbarukan.

“Dukungan kebijakan itu dapat dimulai dengan menetapkan target persentase bauran produksi listrik dari sumber energi terbarukan, agar PLN dapat memprioritaskan energi terbarukan dalam menerangi seluruh wilayah Indonesia,” ujar Dinita.

Dia menyatakan yakin hal tersebut akan mendorong peningkatan kapasitas energi terbarukan, yang pada akhirnya membuka peluang lapangan kerja baru, pertumbuhan PDB nasional dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, menuju transisi energi yang berkelanjutan dan berkeadilan.