Komersialisasi Migas Diprioritaskan untuk Kebutuhan Dalam Negeri •

Kepala Divisi Komersialisasi Migas SKK Migas, Rayendra Sidik.
Jakarta, – SKK Migas terus berupaya meningkatkan komersialisasi minyak dan gas bumi (migas). Hingga saat ini, produksi minyak maupun gas nasional dipriroritaskan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Apalagi, ada kebijakan pemerintah yang mewajibkan para produsen minyak untuk menawarkan terlebih dulu hasil produksi minyaknya ke kilang Pertamina.
Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, Rayendra Sidik, mengungkapkan bahwa dalam Permen ESDM 18/2021 Tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri ditetapkan para produsen wajib menawarkan dulu kepada Pertamina atau badan usaha pemegang izin usaha pengolahan minyak di dalam negeri.
“Jadi wajib minyak-minyak itu ditawarkan ke Pertamina, jika memang tidak bisa karena satu lain hal seperti kesepakatan harga atau teknis yakni kilangnya tidak bisa menerima baru minyak di ekspor,” kata Rayendra dalam diskusi media SKK Migas, Kamis (28/3).
Menurutnya, hanya ada dua jenis minyak yang langsung bisa diekspor dan jumlahnya juga tidak banyak. Pasalnya, jenis minyak yang memiliki sulfur sangat tinggi ini dipastikan tidak bisa diolah di fasilitas kilang yang ada di tanah air.
Tidak hanya minyak, gas bumi juga sebagian besar produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data SKK Migas, dari 5.528,61 BBTUD realisasi penyaluran gas bumi sebanyak 23,35 persen diekspor dalam bentuk LNG dan diekspor melalui pipa sebesar 8,7 persen. Sementara Sisanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Persentase gas untuk kebutuhan dalam negeri, alokasi untuk industri mencapai 26,85 persen, pupuk sebesar 12,48 persen, kelistrikan 12,6 persen, LNG domestik 9,91 persen, kebutuhan lifting minyak 4,26 persen, LPG sebesar 1,46 persen, dan untuk jaringan gas (jargas) 0,28 persen serta BBG sebesar 0,11 persen.
Rayendra menyebutkan bahwa untuk produksi LNG misalnya, selain yang sudah berkontrak maka sisa produksi LNG dipastikan akan ditawarkan ke konsumen dalam negeri.
“Seperti tahun ini, di awal kita proyeksikan tidak ada LNG yang uncommitted cargo, namun di tengah jalan karena satu lain hal ada sekitar 3-4 kargo LNG uncommitted. Kita langsung tawarkan dulu ke dalam negeri. Pupuk, industri kelistrikan dan lainnya. Ternyata tidak ada yang serap, baru kita langsung jual ke spot,” jelasnya.
Proses komersialisasi gas bumi memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan minyak bumi, yaitu penyerapan pasar dan infrastuktur. Khusus gas bumi, setelah diproduksi harus segera disalurkan, sehingga sebelum diproduksi, marketnya harus siap, dan untuk menyalurkan dibutuhkan infrastuktur agar bisa tersalurkan langsung ke konsumen. Untuk itu, perlu dikembangkan infrastruktur jaringan pipa untuk gas. Saat ini, beberapa jaringan pipa gas belum tersambung, yakni Cirebon-Semarang, Dumai-Sei Mangke, dan menuju Batam.
“Pekerjaan rumah untuk komersialisasi gas lainnya adalah pembangunan LNG Plant. Hal ini karena penemuan gas banyak di wilayah timur Indonesia, sedangkan permintaan banyak di wilayah barat Indonesia, sehingga dibutuhkan LNG Plant untuk dapat memenuhi permintaan tersebut,” jelas Rayendra.
Menurutnya, upaya menciptakan pasar gas bumi domestik juga menjadi tantangan tersendiri. Sebab pemanfaatan gas bumi untuk domestik selama 10 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Sementara itu, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Hudi Suryodipuro, mengatakan komersialisasi minyak dan gas bumi harus dilakukan secara transparan dan hati-hati. Pasalnya, sektor hulu migas memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara.
“Perlu disadari bahwa tidak semua golongan memahami bagaimana proses komersialisasi migas, sehingga ada persepsi yang keliru bahwa jika ada temuan, maka otomatis dapat memberikan keuntungan materi yang besar, padahal tidak semudah itu, ada proses dan prosedur yang harus diikuti sebelum penemuan tersebut bisa diproduksi dan dikomersialisasikan,” ujar Hudi.