LFP vs Baterai Nikel: Quo Vadis Masa Depan Nikel Indonesia •

Sebagian kontainer berisi nikel sulfat yang siap untuk dikapalkan. Nikel sulfat merupakan salah satu elemen dasar untuk baterai kendaraan listrik.

Jakarta, – Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Mohammad Toha, mengatakan cadangan nikel dan cobalt tak banyak ditemukan di dunia. Hal inilah yang membuat China, Amerika, Australia, termasuk Indonesia, memasukkan kedua komoditas tersebut sebagai material kritis (critical materials).

“Di Indonesia sendiri, sebaran nikel 90 persen berada di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara,” ujar Toha dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan secara daring (webinar), Senin (5/2).

Menurutnya, nikel sebagaimana komoditi pertambangan lainnya juga kerap mengalami fluktuasi harga. Kadang mahal, tetapi kerap bertahan di harga yang cukup ekonomis. Meski demikian, sejumlah industri seperti industri robot, energi, bahkan energi terbarukan juga akan tetap membutuhkan nikel.

Menariknya, ungkap Toha, terjadi anomali peningkatan harga nikel ketika pandemi mendera dunia tiga tahun lalu. Padahal saat itu, seluruh sektor ekonomi sedang lesu karena dihantam pandemi.

“Kenaikan harga nikel itu kemudian disinyalir karena tingginya permintaan nikel untuk baterai mobil listrik. Banyak perusahaan dari luar masuk ke Indonesia dan terjun ke industri nikel karena melihat prospek yang sangat baik dan diperkirakan akan naik lagi,” katanya.

Sejalan dengan naiknya harga nikel, harga Lithium Ferro Phosphate (LFP) juga turut mengalami lonjakan harga. Hal ini tidak terlepas dari fenomena mobil listrik Tesla yang menggunakan LFP karena dinilai jauh lebih efisien menyimpan energi baterai. Dengan kata lain, penggunaan LFP dalam waktu mendatang akan terus mengalami kenaikan.

“Ini akan berubah menjadi seperti penggunaan ponsel masa kini, di mana semua manusia telah memiliki ponsel. Nantinya kendaraan listrik juga akan begitu, bahwa mobil konvensional akan digantikan oleh mobil listrik berbasis baterai,” tegas Toha.

Dengan adanya prospek penggunaan yang begitu banyak, dia berpendapat perlu adanya tata kelola nikel di Indonesia yang nantinya bisa memastikan adanya pengaturan supply and demand yang baik. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan harga. Meskipun pada faktanya, penggunaan nikel untuk baterai saat ini masih sangat sedikit, yakni baru sekitar 3 persen.

“Nikel paling banyak digunakan saat ini memang bukan untuk baterai, tetapi oleh industri lain seperti industri militer, otomotif, dan kesehatan. Hanya saja itu tadi, proyeksi penggunaan nikel untuk baterai akan terus mengalami peningkatan. Itulah sebabnya dibutuhkan lembaga yang bisa mengatur. Kalau di minyak kita mengenal OPEC, nah di nikel nantinya juga harus ada. Karena harus diingat bahwa nikel pasti akan dibutuhkan sampai kapanpun selama cadangannya masih ada,” ujar Toha.

Hilirisasi Mineral

Selain Toha, webinar yang diikuti hingga 200 peserta ini juga menghadirkan pembicara lainnya, yakni Pakar Hilirisasi dan Pendiri Indonesian Institute for Mineral and Metal Industries (IM2I), R. Sukhyar, Pengamat Energi UGM, Fahmy Radhi, dan Ahmad Redi sebagai Ahli Hukum dan Pertambangan.

Sukhyar menyampaikan agar Indonesia bisa lebih maju dalam memanfaatkan cadangan nikel yang berlimpah di Indonesia. Jangan lagi hanya berkecimpung di sektor hulu, tetapi sudah saatnya juga ikut berkiprah di hilir.

Dia pun merasa geram dengan kenyataan hari ini bahwa Indonesia belum memiliki perusahaan BUMN maupun swasta yang bisa dijadikan ikon yang mampu memproduksi barang turunan dari bahan baku nikel.

“Belum ada competitive advantage yang bisa diperoleh dari nikel, padahal sudah seharusnya bisa membangun value chain yang lebih bagus lagi. Indonesia sudah seharusnya menjadi negara penentu, bukan hanya follower bagi negara maju seperti Cina,” jelas Sukhyar.

Menurutnya, hal tersebut terjadi juga karena belum adanya interkoneksi regulasi di antara lembaga pemerintah. Alhasil, kebijakan di hulu seringkali tidak sinkron dengan kebijakan di hilir.

Sukhyar mengusulkan, perlu adanya revisi UU BUMN untuk memberikan celah bagi perusahan BUMN untuk tampil sebagai inovator, bukan hanya sekadar perusahaaan yang dipaksa untuk mencari laba.

“Cina sudah melakukan itu. Maka kita butuh reformasi kelembagaan BUMN,” ujar mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM ini.

Sementara Fahmy Radhy menitikberatkan pada hilirisasi yang masih membutuhkan evaluasi secara mendalam. Hilirisasi ini diharapkan tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi investor.

“Yang terjadi saat ini adalah investor kian sejahtera sedangkan masyarakat kurang merasakan dampaknya. Ini harus diubah menurut saya,” kata Fahmy.