Optimalisasi Value Creation demi Naikan Keekonomian Panas Bumi •

Area panasbumi Kamojang di Bandung, Jawa Barat

Jakarta, – Hingga kini, pengusahaan panas bumi di Indonesia diyakini masih menghadapi sejumlah kendala dalam pengembangannya. Padahal dalam jangka panjang, data menunjukkan bahwa biaya operasi listrik panas bumi dapat menjadi salah satu yang termurah dibandingkan beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit.

Terkait hal ini, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyatakan perlu adanya kesungguhan dari Pemerintah bersama para pihak terkait untuk mengoptimalkan potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia sebagai sumber energi masa depan. Pemerintah pun diminta untuk memperbaiki ekosistemnya dan didorong untuk berkolaborasi dengan para stakeholder.

“Dalam hal ini pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki ekosistem industri panas bumi dan mendorong kolaborasi dari para stakeholder terkait,” ungkap Komaidi, Jum’at (1/12).

Menurutnya, berdasarkan hasil studi yang dilakukan, terlihat bahwa rata-rata beban usaha pembangkitan untuk listrik panas bumi sebenarnya lebih efisien. Pada tahun 2022 misalnya, beban usaha pembangkitan untuk listrik panas bumi sebesar Rp 118,74 per kWh atau hanya 8,12 persen dari rata-rata beban usaha pembangkitan untuk semua jenis pembangkit yang dilaporkan sebesar Rp 1.460,59 per kWh.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

“Sayangnya dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia  terpantau masih terkendala masalah keekonomian proyek. Hal ini yang menyebabkan harga jual tenaga listrik dari energi panas bumi masih lebih tinggi dibandingkan harga jual tenaga listrik dari jenis Energi Baru dan Energi Terbarukan lainnya,” ujar Komaidi.

Berdasarkan review ReforMiner Institute, jelas Komaidi, tingkat keekonomian proyek panas bumi di Indonesia tercatat masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata tingkat keekonomian proyek panas bumi global. Saat ini, rata-rata keekonomian proyek panas bumi global berada di bawah 10 sen US$ per kWh.

“Sementara rata-rata nilai keekonomian (harga jual) listrik panas bumi di Indonesia untuk kontrak yang baru dilaporkan berada pada kisaran 10 sampai 13 sen US$ per kWh,” ungkapnya.

Untuk dapat meningkatkan keekonomian proyek panas bumi, menurut Komaidi, para pelaku industri panas bumi global umumnya melakukan optimalisasi value creation. Bahkan, sejumlah studi melaporkan optimalisasi value creation pada pengusahaan panas bumi global dilakukan melalui sejumlah instrumen.

Contohnya, dengan memanfaatkan teknologi mutakhir seperti drilling, well enhancement, power plant, operations. Kemudian perlu adanya perbaikan supply chain, dan komersialisasi secondary product seperti pemanfaatan langsung, green hydrogen production, green methanol production, dan silica extraction.

“Pengembangan secondary product dari industri panas bumi ini pada akhirnya dapat membantu merealisasikan pencapaian target net zero emission (NZE) Indonesia yang telah dicanangkan oleh Pemerintah,” ujarnya.

Terkait dengan optimalisasi value creation, Komaidi menilai bahwa industri panas bumi di dalam negeri secara bertahap juga telah mengarah pada tren global tersebut. Salah satu contohnya adalah upaya peningkatan value creation yang dijalankan oleh Pertamina Geothermal Energy (PGE).

Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa panas bumi memiliki peran penting dalam membantu merealisasikan pencapaian target NZE pada tahun 2060. Apalagi, dalam pengembangan sebagai sumber tenaga listrik, panas bumi tidak tergantung pada kondisi cuaca yang berbeda dengan sebagian besar jenis energi terbarukan yang umumnya tergantung dengan kondisi cuaca.

“Keunggulan lain panas bumi diantaranya adalah menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama, bebas dari risiko kenaikan harga energi primer terutama energi fosil, serta biaya operasi pembangkitannya relatif paling murah,” jelas Komaidi.

Meskipun memiliki keunggulan yang beragam, tetapi pengusahaan panas bumi di Indonesia sampai saat ini relatif belum kompetitif. Menurutnya, hal ini diduga karena menghadapi sejumlah kendala dalam pengembangannya. Padahal dalam jangka panjang biaya operasi listrik panas bumi tercatat sebagai salah satu yang termurah.

“Melihat potensi besar yang dimiliki panas bumi serta peran pentingnya terhadap target NZE, penting untuk melakukan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Sehingga diharapkan akan mampu tercapai keberlanjutan kedepannya,” ucap Komaidi.