Pembiayaan LNG Jepang Memicu Protes di Seluruh Dunia •

Pembiayaan LNG Jepang yang ‘berbahaya dan merugikan’ memicu protes di seluruh dunia. Petisi dan demonstrasi yang dipimpin oleh berbagai elemen masyarakat menyerukan kepada lembaga kredit ekspor Jepang JBIC – Japan Bank for International Cooperation – untuk mengakhiri kerusakan lingkungan dan masyarakat yang timbul dari proyek-proyek LNG.
Jakarta, – Nelayan, masyarakat lokal, kelompok masyarakat adat, dan aktivis lingkungan di seluruh seluruh dunia mengecam Jepang dan lembaga kredit ekspornya, Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Mereka Bersatu menentang pembiayaan publik dari Jepang untuk proyek-proyek gas alam (LNG) yang akan menimbulkan dampak lingkungan dan hak asasi manusia yang dianggap “berbahaya dan merugikan.”
Protes yang dipimpin oleh komunitas di Indonesia, Filipina, Thailand, Bangladesh, Amerika Serikat, Mozambik, Kanada, dan Australia ini berusaha menarik perhatian para menteri iklim, energi, dan lingkungan hidup G7 terhadap ketidakadilan seputar dampak pembiayaan LNG Jepang terhadap keanekaragaman hayati, keberlangsungan mata pencaharian, dan keselamatan masyarakat. Para demonstran membujuk Jepang untuk mengakhiri kerugian masyarakat dengan menghentikan dukungan finansialnya pada eksploitasi bahan bakar fosil.
Menurut laporan dari Oil Change International dan Friends of the Earth Amerika Serikat, Jepang menyediakan rata-rata US$ 6,9 miliar per tahun untuk bahan bakar fosil dibandingkan US$ 2,3 miliar untuk energi bersih antara tahun 2020 dan 2022. Padahal, International Energy Agency (IEA) menyatakan seharusnya tidak ada proyek gas hulu baru ataupun terminal LNG baru yang dibangun agar bumi tidak melewati target ambang batas iklim yang telah disetujui bersama.
Jepang juga merupakan pendukung utama proyek di hulu produksi bahan bakar fosil, dengan menyediakan US$ 2,5 miliar per tahun. Ini menyumbang hampir setengah (49 persen) dari semua pembiayaan bahan bakar fosil hulu. Meski begitu, negara-negara G7 sudah berkomitmen untuk mengakhiri pembiayaan publik internasional untuk proyek-proyek bahan bakar fosil.
“Ada pola yang jelas di seluruh proyek LNG yang dibiayai oleh JBIC. Proyek-proyek tersebut merupakan bencana bagi perubahan iklim dan juga bagi mata pencaharian, kesehatan dan keamanan masyarakat lokal, keanekaragaman hayati, maupun hak asasi manusia,” kata semua kelompok yang tergabung dalam sebuah Petisi bersama, yang diperoleh PETROMINER, Jum’at (26/4).
Menurut Petisi tersebut, Jepang menggunakan dana publik untuk mendukung kerajaan gas sementara berusaha mendorong LNG sebagai alternatif yang bersih dan penting untuk batubara. Padahal tidak, karena gas bisa sama buruknya dengan batubara untuk iklim. Proyek-proyek LNG yang didanai JBIC memperparah hilangnya keanekaragaman hayati, memusnahkan mata pencaharian, menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, dan menggusur paksa masyarakat adat dan Masyarakat lokal.
Petisi ini dikeluarkan di tengah-tengah penyelidikan JBIC mengenai apakah mereka gagal mengikuti pedoman sosial dan lingkungannya sendiri dalam mendanai terminal impor LNG pertama di terusan Pulau Verde, Filipina, yang dikenal sebagai “Amazon-nya Lautan” dan “Pusat Keanekaragaman Hayati Laut.” Penyelidikan ini dipicu oleh petisi sebelumnya yang diajukan oleh para nelayan lokal dan masyarakat setempat yang menunjukkan dampak buruk proyek tersebut terhadap mata pencaharian, tidak adanya izin konversi lahan proyek, tidak adanya izin penebangan pohon pada pembukaan lahan proyek, dan banyaknya pelanggaran proyek terhadap standar lingkungan setempat.
Menurut Center for Energy, Ecology, and Development (CEED), JBIC merupakan penyandang dana bahan bakar fosil terbesar di Asia Tenggara dengan total pinjaman yang telah diberikan sebesar US$ 3,3 miliar sejak Perjanjian Paris. Selain terminal impor LNG di Filipina, portofolio LNG JBIC di Asia Tenggara meliputi: proyek-proyek hulu ke hilir di Indonesia (LNG Tangguh di Papua Barat, LNG Donggi Senoro di Sulawesi Tengah, dan Jawa 1 Gas-to-Power di Jawa Barat) dan Thailand (pembangkit listrik tenaga gas yang dipasok oleh terminal impor LNG Map Ta Phut) yang telah menyebabkan penurunan tajam dalam hasil tangkapan ikan dan pembatasan berburu dan menangkap ikan secara tradisional.
JBIC juga mendukung proyek-proyek di Australia, Kanada, dan Mozambik yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi keselamatan masyarakat dan hak-hak masyarakat adat.
“Di seluruh dunia kami mendesak JBIC dan Perdana Menteri Jepang Kishida untuk menghentikan pembiayaan gas fosil dan berkontribusi pada transisi energi yang penuh, adil, cepat, didanai, dan feminis ke energi terbarukan,” demikian bunyi Petisi tersebut.
Kepala Divisi Kampanye, WALHI Indonesia, Fanny Tri Jambore, menyampaikan proyek-proyek gas yang didukung JBIC di Indonesia telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat, serta menyebabkan pemindahan paksa masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Dengan begitu banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan hak asasi manusia, dan di tengah-tengah situasi global yang sedang memanas, tidak ada lagi alasan bagi Jepang untuk terus mendukung proyek-proyek gas fosil,” ujar Fanny.