Pensiun Dini Operasional PLTU Batubara, Ini Kata IESR •
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo (ketiga dari kiri), tengah menyampaikan materinya terkait pengakhiran dini operasional PLTU Batubara pada diskusi panel Enlit Asia 2023 berjudul “Leapfrogging to NZE: Accessing ASEAN readiness to retrofit or early retire coal fleets,” Rabu (15/11).
Tangerang, – Pemerintah tengah menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Ini dilakukan dengan menggodok peta jalan (roadmap) pengakhiran (pensiun dini) operasional PLTU batubara.
Menurut Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, penyusunan peta jalan tersebut merupakan langkah awal untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. Selanjutnya, setelah peta jalan ditetapkan, Pemerintah perlu mempersiapkan kerangka regulasi yang dapat mendukung penerapan struktur atau skema pembiayaan untuk pengakhiran operasional PLTU batubara di Indonesia.
“Sudah ada beberapa usulan struktur untuk pengakhiran operasional PLTU seperti write-off atau penghapusan aset PLTU dari catatan perusahaan karena dinilai tidak ekonomis lagi, atau spin-off yaitu penjualan aset ke perusahaan baru untuk mengelola aset tersebut dengan masa operasi lebih singkat,” ungkap Deon pada diskusi panel Enlit Asia 2023 berjudul “Leapfrogging to NZE: Accessing ASEAN readiness to retrofit or early retire coal fleets,” Rabu (15/11).
Selain itu, paparnya, Pemerintah juga perlu membuat beberapa proyek percontohan (pilot) untuk pengakhiran operasional PLTU yang sedang berjalan seperti PLTU Cirebon. Ini perlu dilakukan sebagai pembuktian konsep dan memberikan kepastian pada PLN maupun Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producers/IPP) sebagai pemilik aset PLTU.
Selain dari skema atau struktur yang jelas dalam pensiun dini operasional PLTU batubara, diperlukan pula mekanisme untuk bisa mengalokasikan pendanaan yang didapatkan dari pengakhiran dini PLTU tersebut ke pembangkit energi terbarukan. Namun, regulasi yang ada sekarang di Indonesia tidak memungkinkan hal ini.
“Karena itulah, perlu dikaji dan diusulkan perubahannya agar pendanaan energi terbarukan yang biayanya bisa murah bisa sekaligus digunakan untuk mempensiunkan aset PLTU,” tegas Deon.
Dia memandang masih banyak pekerjaan rumah untuk melaksanakan pensiun dini PLTU. Misalnya memastikan ada payung legal yang menjelaskan bahwa pengakhiran dini operasional PLTU memang bagian dari kebijakan negara untuk bertransisi energi dan mengurangi emisi, serta adanya ketersediaan regulasi yang memungkinkan modifikasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan lainnya.
“Lebih baik lagi jika strategi pada PLTU merupakan bagian dari upaya transisi energi yang ingin mengintegrasikan energi terbarukan dalam skala besar sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Jika tujuannya seperti itu, maka aset PLTU akan dioptimalkan untuk memastikan energi terbarukan bisa masuk ke bauran listrik dengan cepat dan murah. Misalnya, selain menunggu dipensiunkan, PLTU bisa dioperasikan secara fleksibel untuk membantu menjaga kestabilan dan kehandalan sistem seiring meningkatnya bauran PLTS dan PLTB yang intermiten,” ujar Deon.

