Pentingnya Peran Gas Selama Masa Transisi Energi •

Seorang Pekerja tengah melakukan aktivitas di fasilitas pemrosesan Senipah-Peciko-South Mahakam (SPS), yang mengolah minyak dan gas bumi dari blok Mahakam di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.

Jakarta, – Indonesia sedang berada dalam masa transisi menuju penggunaan energi bersih dengan mencanangkan target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Sejalan dengan itu, porsi energi “bersih” dalam bauran energi nasional pun terus meningkat. Meski begitu, energi yang bersumber dari energi fosil, seperti minyak dan gas bumi (migas), tetap akan tetap digunakan.

Tidak hanya itu, hingga target NZE tercapai di tahun 2060, energi yang bersumber dari hidrokarbon, khususnya gas bumi, masih memegang peranan penting sebagai penopang ketahanan energi nasional.

Merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), gas bumi diamanatkan untuk digunakan secara optimum. Hal ini dikarenakan gas bumi dipandang sebagai sumber energi fosil yang relatif lebih bersih dibandingkan minyak bumi. Dalam target bauran energi 2015-2050, persentase pemanfaatan gas bumi ditetapkan paling sedikit 22 persen di tahun 2025 dan minimal 24 persen di tahun 2050.

Menilik porsi alokasi gas bumi yang semakin besar serta kebutuhan energi yang kian meningkat seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi, Indonesia dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan gas di sektor domestik. Berdasarkan proyeksi yang tertuang dalam RUEN, kebutuhan gas di tahun 2025 diperkirakan mencapai 44,8 million ton oil equivalent (MTOE). Di tahun 2050, volume kebutuhan gas diperkirakan naik menjadi 113,9 MTOE.

Guna mencukupi kebutuhan tersebut, dibutuhkan pasokan gas bumi sebesar 89,5 MTOE di tahun 2025. Jumlah ini setara dengan 9.786,7 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Sementara di tahun 2050, butuh pasokan 242,9 MTOE atau setara 27.013,1 MMSCFD.

Agar pasokan energi yang bersumber dari gas bumi tetap terjamin, RUEN mengamanatkan pengurangan porsi ekspor gas bumi menjadi kurang dari 20 persen di tahun 2025 dan penghentian ekspor gas bumi paling lambat di tahun 2026. Amanat itu dijalankan dengan menjamin penyerapan produksi gas dalam negeri untuk industri yang terintegrasi hulu-hilir, transportasi, dan sektor lainnya. Sejauh ini, gas bumi yang diproduksikan oleh lapangan-lapangan migas di Indonesia sudah terserap sebesar 65 persen untuk sektor domestik.

“Terkait gas, termasuk LNG, sektor hulu migas berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu,” ungkap Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto.

Selain memperbesar porsi alokasi gas bagi domestik, investasi di hulu migas untuk menemukan cadangan gas baru juga perlu ditingkatkan. Dari segi cadangan, potensi gas bumi Indonesia masih cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Mei 2023, cadangan gas alam Indonesia mencapai 54,83 TCF. Apabila proyek-proyek pengembangan lapangan gas berjalan sesuai rencana, Indonesia diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan gas domestik.

“Setelah tahun 2030, kemampuan dukungan industri hulu migas untuk pemenuhan kebutuhan gas domestik menjadi semakin kuat seiring dengan selesainya Proyek Abadi Masela yang dijadwalkan onstream di tahun 2029,” kata Dwi.

Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi.

Malahan, Kurnia mengungkapkan produksi gas dari lapangan-lapangan migas di Indonesia masih sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh pasar dalam negeri, termasuk sektor industri yang memiliki peranan besar dalam menggerakkan roda perekonomian. Apalagi, jaminan ketersediaan pasokan gas bagi industri, terutama industri pengolahan, menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor sebelum menanamkan modal di suatu daerah atau kawasan di Indonesia.

“Kami akan terus mendorong industri dalam negeri untuk bisa memanfaatkan gas kita,” kata Kurnia.

Hanya saja, menurut Country Head Indonesia Rystad Energy, Sofwan Hadi, masih ada beberapa tantangan agar produksi gas nasional bisa terserap secara optimal oleh sektor domestik. Penguatan infrastruktur yang mampu mendukung pemrosesan, distribusi dan penerimaan gas ke pasar domestik masih dibutuhkan. Perlu juga adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan lapangan-lapangan gas sehingga kebutuhan gas bumi selama masa transisi energi bisa terpenuhi.

“Apabila investasi untuk pengembangan gas, termasuk infrastruktur pendukung, tidak dimulai dari sekarang, pada satu titik di masa depan, Indonesia bisa menjadi net importer gas,” kata Sofwan.

Guna membangun sinergi dengan para pemangku kepentingan terkait pemanfaatan gas di sektor domestik, SKK Migas berencana menggelar The 4th International Convention on Indonesia Upstream Oil and Gas 2023 (ICIOG 2023) yang akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali pada 20-23 September 2023. Dengan mengusung tema “Advancing Energy Security Through Sustainable Oil and Gas Exploration and Development.”

ICIOG 2023 ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para pelaku usaha dan pemangku kepentingan di industri hulu migas untuk mengidentifikasi isu-isu yang masih menjadi tantangan dalam upaya meningkatkan penyerapan gas oleh sektor domestik, sekaligus mencari solusi dan menentukan tindak lanjut atas isu-isu yang ada.