Perlunya Kebijakan HGBT untuk Industri Dilanjutkan •

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Taufiek Bawazier.

Jakarta, – Kementerian Perindustrian menekankan pentingnya kepastian berlanjutnya program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) di sektor industri. Pasalnya, program ini sangat berpengaruh bagi peningkatan daya saing industri dan masuknya investasi serta pertumbuhan perekonomian nasional.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Dirjen ILMATE Kemenperin) Taufiek Bawazier, Sabtu (23/3).

Menurut Taufiek, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berharap segera digelarnya rapat teknis untuk mendapat kepastian perpanjangan kebijakan HGBT industri dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan.

Dalam pertemuan dengan Menkeu dan Menteri ESDM itu, Taufiek akan menyampaikan pesan Menperin Agus mengenai hitung-hitungan teknokratis benefit HGBT dan multiplier effect dari tujuh sektor industri.

“Kami juga meminta agar program HGBT sesuai Perpres Presiden Jokowi dilanjutkan bahkan diperluas dengan prinsip no one left behind, bukan hanya untuk tujuh sektor industri yang saat ini menerima fasilitas itu,” tegasnya.

Dalam penjelasan singkat kepada kedua menteri, Taufiek melaporkan total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari tahun 2021 hingga 2023 mencapai Rp 51,04 triliun. Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp 157,20 triliun, atau meningkat hampir tiga kali lipat.

“Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” jelasnya.

Dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor tahun 2021-2023 senilai Rp 84,98 triliun, dengan nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia yang sebesar Rp 48,49 triliun.

Bukan hanya ekspor, peningkatan pajak mencapai Rp 27,81 triliun.  Multiplier effect dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp 31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp 13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.

Logikanya, jika HGBT ditiadakan atau tidak diperpanjang, maka terdapat opportunity lost bagi industri yang berujung perekonomian akan merosot dan turun tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan produk kita menjadi tidak kompetitif, yang berakibat pada penutupan pabrik serta PHK.

 

Taufiek pun mengingatkan, industri butuh gas murah baik sebagai energi dan feedstock. Pelaku industri juga memperoleh gas dengan membeli, bukan gratis.

“Dari perspektif ini, pemerintah harus hadir,” tegasnya.

Dari portfolio penerima HGBT di tahun 2023, industri penerima berjumlah 265 perusahaan dan kelistrikan 56 perusahaan dengan total penerima 321 perusahaan. Alokasi gas industri hanya 1.222,03 BBTUD dan kelistrikan 1.231,22 BBTUD. Artinya, masih lebih banyak sektor kelistrikan penerima alokasi HGBT dibandingkan industri.

“Itupun hanya diberikan 85,31 persen dan banyak persoalan di lapangan termasuk biaya surcharge,” ungkap Taufiek.

Opsi Impor Gas

Kemenperin berpendapat, meski terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibandingkan bila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.

Jika Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara Teluk. Apalagi, harganya bisa menyentuh US$ 3 per mmbtu untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor.

“Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik, sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat, serta berdaya saing di tingkat ASEAN dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri,” pinta Taufiek.

Dia menyayangkan jika persoalan substansi teknokratis direduksi oleh kehadiran pejabat dalam menentukan perpanjangan program HGBT. Sesungguhnya terminologi ‘dilanjutkan’ atau ‘tidak dilanjutkan’ nya program HGBT ini sangat tendensius, karena sesungguhnya selama Perpres belum dicabut, maka Program HGBT ini tetap harus jalan, dan semua pembantu Presiden wajib mengikuti Peraturan Presiden ini.

“Terkait hal ini, Kemenperin selalu terbuka untuk berdiskusi secara komprehensif, mengingat HGBT bukan cost bagi pemerintah, tetapi investasi dalam ekonomi, karena setiap pengeluaran Rp 1 untuk diskon gas, pemerintah juga mendapat Rp 3 dengan hitungan bukan di awal, tetapi satu tahun berjalan atau di akhir tahun takwim,” ujar Taufiek.