Perlunya Peta Jalan Kebijakan Transportasi bagi Capaian Nir Emisi •

Ilustrasi sepeda motor listrik tengah melaju di jalanan.
Jakarta, – Penurunan emisi yang signifikan di sektor transportasi diyakini bisa menjadi strategi untuk mencapai nir emisi pada tahun 2050 sesuai Persetujuan Paris (Paris Agreement) atau mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 sesuai target Pemerintah. Karena itulah, peta jalan (roadmap) dekarbonisasi transportasi yang komprehensif menjadi langkah penting untuk menerjemahkan komitmen Pemerintah ke dalam strategi yang dapat diimplementasikan.
Hal inilah yang mendorong Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam mengembangkan peta jalan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi di tingkat nasional dan regional (Jabodetabek). Berdasarkan data IESR, sektor transportasi, terutama transportasi darat, bertanggung jawab terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Pergerakan penumpang transportasi darat menyumbang emisi 73 persen atau sebesar 110 mtCO2e dari total emisi transportasi pada tahun 2022.
“Penurunan emisi bukan hanya berdasarkan persentase saja, harus selaras dengan Persetujuan Paris. Untuk itu, IESR melakukan pemodelan peta jalan peluang dekarbonisasi sektor transportasi dengan struktur model nasional dan regional Jabodetabek. Pemodelan ini bertujuan untuk menemukan langkah optimal yang dapat dilakukan dalam peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam webinar Peta Jalan Dekarbonisasi Transportasi Indonesia, Selasa (5/12).
Dalam kesempatan itu, Analis Mobilitas Berkelanjutan IESR, Rahmi Puspita Sari, memaparkan bahwa secara nasional, pertumbuhan kendaraan pada tahun 2021 telah melebihi laju pertumbuhan populasi penduduk. Di tingkat nasional, sepeda motor mendominasi total jumlah kendaraan teregistrasi sekitar 84,54 persen per tahun 2021.
Hal yang sama juga terjadi di tingkat regional Jabodetabek, sebanyak 75,8 persen dari moda transportasi yang digunakan adalah sepeda motor per tahun 2019 berdasarkan laporan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI). Dominasi kepemilikan sepeda motor ini disebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat meningkat dan harga sepeda motor yang juga cukup murah.
“Saat ini kita tidak memiliki angkutan umum yang dapat bersaing dengan sepeda motor dari sisi harga dan waktu. Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak buruk karena pembakaran sepeda motor tidak sempurna dibandingkan mobil, sehingga berpotensi menimbulkan polusi yang lebih parah,” ungkap Rahmi.
Selain itu, menurutnya, ada juga fenomena mobilitas penglaju (commuter mobility) yakni penduduk yang melakukan mobilitas antar zona dari luar Jakarta ke Jakarta karena pendidikan dan pekerjaan. Sekitar 10 persen perjalanan di Jakarta disebabkan penglaju. Kemudian, ada juga fenomena mobilitas sirkuler (circular mobility) dengan pergerakannya tahunan. Misalnya saja penduduk semi permanen di kota lalu kembali ke kampung halamannya atau bepergian untuk liburan.
IESR menguji kebijakan yang berkaitan dengan kendaraan dan pergerakan penumpang dalam pemodelan peta jalan dekarbonisasi transportasi. Secara nasional, dengan berpedoman pada prinsip avoid (hindari dan kurangi perjalanan), shift (beralih ke kendaraan rendah karbon), improve (peningkatan efisiensi energi) terdapat lima kebijakan yang diuji untuk menurunkan emisi di sektor transportasi. Lima kebijakan tersebut adalah bekerja dari rumah (work from home), pemusatan perjalanan pada transportasi publik, penggunaan biofuel, penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor (fuel economy standard) dan pemberian insentif kepada kendaraan listrik motor dan mobil.
Hasil pengujian kebijakan tersebut memperlihatkan adanya penurunan emisi transportasi dengan rentang 15-75 persen hingga tahun 2060, melalui kombinasi kebijakan bekerja dari rumah (work from home), kendaraan listrik, penggunaan biofuel, penggunaan transportasi publik, dan efisiensi bahan bakar. Penurunan tersebut sebagian besar baru didukung oleh kebijakan kendaraan penumpang dan belum berkaitan dengan kendaraan barang serta logistik darat.
Sementara secara regional Jabodetabek, dengan menggunakan prinsip avoid, shift dan improve, terdapat tujuh kebijakan yang diuji pada peta jalan dekarbonisasi transportasi yaitu perencanaan pembangunan di sekitar transportasi umum (Transit Oriented Development, TOD), bekerja dari rumah (work from home, WFH), pemberlakukan zona pembatasan terhadap kendaraan beremisi tinggi (Low, Emission Zone, LEZ), pemusatan pada transportasi publik, penggunaan biofuel, penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor (fuel economy standard) dan pemberian insentif kepada kendaraan listrik motor dan mobil.
Hasil pengujian kebijakan di tataran regional menunjukkan terjadi penurunan emisi transportasi sekitar 7-43 persen setiap tahunnya dari skenario baseline pada rentang waktu 2010-2060, melalui kombinasi kebijakan WFH, LEZ, TOD, kendaraan listrik, biofuel, penggunaan transportasi publik, dan efisiensi bahan bakar.