Roadmap Dekarbonisasi untuk Industri Rendah Karbon •
Analis Senior IESR, Farid Wijaya. IESR dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) baru saja merilis peta jalan (roadmap) dan rekomendasi kebijakan tentang dekarbonisasi industri untuk mencapai net zero emissions (NZE).
Jakarta, – Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) merilis peta jalan (roadmap) dan rekomendasi kebijakan tentang dekarbonisasi industri untuk mencapai net zero emissions (NZE). Laporan ini fokus terhadap lima sektor industri yang diperkirakan bakal mengalami peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) signifikan apabila tidak melakukan langkah dekarbonisasi. Kelima industri tersebut adalah semen, besi dan baja, pulp dan kertas, amoniak serta tekstil
Pada 2015-2022, menurut Kementerian Perindustrian, sektor industri berkontribusi 8-20 persen dari emisi nasional. Merujuk pada pemodelan IESR, total emisi GRK industri diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 3-4 kali lipat pada tahun 2060 jika tidak ada intervensi apapun (business as usual/BaU).
“Industri berkapasitas besar seperti semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas paper) serta amonia memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan dekarbonisasi,” ungkap Analis Senior IESR, Farid Wijaya, pada “Lokakarya Diseminasi Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Indonesia dan Rekomendasi Kebijakan,” yang diselenggarakan IESR bekerja sama dengan LBNL dan didukung oleh ClimateWorks Foundation, Rabu (25/10).
Farid menyampaikan, IESR dan LBNL memandang dekarbonisasi sektor industri dapat tercapai sebelum tahun 2060. Berdasarkan data IESR, dari total 17 entitas bisnis di lima sektor tersebut yang dianalisis, masing-masing perusahaan telah menetapkan target dekarbonisasi dengan porsi yang berbeda-beda, dan hanya industri bubur kertas (pulp) dan kertas yang mempunyai target dekarbonisasi yang spesifik.
Dia mengakui masih ada tantangan dalam upaya dekarbonisasi. Mulai dari konsumsi energi yang tinggi, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pengelolaan limbah dan emisi GRK pada proses dan rantai nilai, hingga tingginya biaya dan manfaat keekonomian dekarbonisasi. Selain itu, regulasi yang tersedia belum terlalu mengikat baik terhadap industri, industri lanjutan maupun konsumen untuk mendorong dekarbonisasi industri.
Menurut Farid, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan juga kementerian teknis lainnya seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu menetapkan regulasi yang kuat. Tidak hanya itu, Pemerintah juga perlu memberikan dukungan dan insentif untuk industri, serta memastikan bahwa produsen, konsumen dan pasar mendukung produksi rendah emisi yang dihasilkan dari dekarbonisasi industri.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Teknologi Lingkungan/Energi LBNL, Hongyou Lu, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia perlu segera mengembangkan strategi nasional yang berbeda-beda untuk tiap jenis sektor industri. Untuk industri besi dan baja dapat memfokuskan penerapan electric arc furnace sebagai langkah elektrifikasi prosesnya untuk strategi jangka waktu pendek, serta melakukan efisiensi energi dan material.
Sementara pada semen, strategi dekarbonisasi yang dapat dilakukan seperti meningkatkan penggunaan bahan pengganti material klinker (supplementary cementitious materials), menerapkan langkah-langkah efisiensi material dan efisiensi energi (jangka pendek), beralih ke sumber bahan bakar rendah emisi (jangka menengah-panjang).
Tidak hanya itu, Pemerintah juga perlu membuat strategi nasional untuk produksi energi hijau seperti hidrogen dan amonia, teknologi lintas sektor seperti aplikasi pompa panas (heat pump), serta teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage/CCS) untuk sisa emisi yang tidak bisa dilakukan dekarbonisasi.
“Untuk melakukan berbagai strategi dekarbonisasi sektor industri ini, Pemerintah Indonesia perlu membangun perencanaan yang terkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pengembangan infrastruktur rendah karbon, seperti jaringan pipa, tempat penyimpanan, sistem transmisi dan distribusi tenaga listrik, sehingga memungkinkan industri untuk mengakses energi terbarukan,” jelas Hongyou.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa dekarbonisasi industri menjadi hal yang tidak dapat dihindari, namun juga melibatkan banyak aspek. Dekarbonisasi industri akan berpotensi mengembangkan industri baru, menumbuhkan ekonomi lokal, mengurangi polusi udara, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional.
“Hal ini perlu dilakukan agar produk industri Indonesia masih dapat memenuhi peraturan lingkungan hidup yang lebih ketat untuk barang impor dan mekanisme penetapan harga karbon yang telah efektif di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa,” ujar Hongyou.
Sebelumnya, Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut upaya dekarbonisasi di sektor industri sebagai motor ekonomi utama di Indonesia. Ini merupakan prasyarat untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan menjadikan Indonesia menjadi negara maju namun rendah emisi.
Menurut Deon, Indonesia dapat menerapkan pilar dekarbonisasi industri yaitu meningkatkan efisiensi energi, elektrifikasi kebutuhan energi, beralih ke bahan bakar rendah karbon seperti energi terbarukan, dan efisiensi pada penggunaan material. Masing-masing industri unik, sehingga perlu diantisipasi situasi dan konteks masing-masing saat menyusun peta jalan dan regulasi yang mendukung.
“Industri dengan produk rendah karbon akan menjadi industri yang paling kompetitif,” tegasnya.