SP PLN: RUU EBET Sebaiknya Dibahas di Masa Rezim Baru •

Ketua Umum SP PLN, M. Abrar Ali.

Jakarta, – Serikat Pekerja PT PLN (Persero) menyatakan keinginan Pemerintah untuk memasukkan soal power wheeling dalam RUU EBET hendaknya jangan dipaksakan. Apalagi, keinginan itu hanya sekadar untuk memenuhi “syahwat politik” rezim yang akan berakhir Oktober 2024 mendatang.

Alasannya, penolakan terhadap RUU tersebut hingga kini masih saja bergulir dari para stakeholder. Ini membuktikan RUU tersebut masih menyimpan sejumlah potensi masalah yang dapat dipastikan akan merugikan masyarakat dan negara nantinya.

“Sebaiknya, pembahasan RUU EBET khususnya soal skema power wheeling dilanjutkan pada periode rezim berikutnya,” ujar Ketua Umum Serikat Pekerja PLN, M. Abrar Ali, kepada sejumlah wartawan, Kamis (11/7).

Abrar menyampaikan pendapat tersebut untuk menanggapi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (10/7). Dalam rapat kerja itu, Arifin menyatakan bahwa Pemerintah tidak ragu dan akan terus mendorong skema power wheeling masuk RUU EBET.

Terkait masih adanya kontra soal power wheeling tersebut, dia menyatakan pembahasan RUU EBET hendaknya dilanjutkan pada masa Presiden periode 2024-2029 mendatang.

“Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan “syahwat politik” dipaksakan harus selesai sebelum periode Presiden sekarang yang akan berakhir Oktober 2024 mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” papar Abrar.

Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa kekhawatiran Menteri ESDM Arifin Tasrif terhadap kemungkinan ketidakmampuan PLN menyediakan energi listrik apabila terjadi demand yang tinggi terkesan sangat didramatisasi. PLN diyakini akan mampu mengantisipasinya.

“Terlalu didramatisasi soal lonjakan demand tersebut. Buktinya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri. Soal nanti ada lonjakan demand, PLN akan mengantisipasinya dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru. Jadi jangan terlalu didramatisasilah, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sedang morat-marit ini,” ungkap Abrar.

Terkait soal power wheeling, dia menyatakan masih dibutuhkan kajian yang lebih lanjut. Apalagi, masih adanya penolakan dari sejumlah pihak.

“Kan masih ada penolakan. Buktinya, dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukan dalam RUU EBET, karena tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta. Ada implikasi yang krusial, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS),“ ujar Abrar yang mengutip pernyataan Mulyanto dari sejumlah media.

Menurutnya, penolakan yang sama juga disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi.

“Skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Alasannya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan non-organik hingga 50 persen,” ucap Abrar mengutip pendapat Fahmi.

Malahan, penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Tidak hanya itu, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar juga akan membuat tarif listrik bergantung demand and supply.